Selasa, 11 Oktober 2011

PERLAKUAN WARIS ISLAM NON MUSLIM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses peradilan yang dijalankan sewajarnya , sederhana ,cepat dan biaya terjangkau dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat tidak terlepas dari kuatnya institusi peradilan baik perangkat keras maupun perangkat lunaknya. Pengadilan Agama setelah bergabung dibawah Mahakamah Agung dalam sistem satu atap ( one roof system ) telah mamasuki era baru baik dalam sikap mental dan etos kerja yang lebih banyak menemukan tantangan dibanding sebelum dalam satu atap.Peralihan ini tidak mudah, disatu sisi kita tetap dalam ruang lingkup missi utama, penegakkan hukum syariah dalam lapangan hukum keluarga, baik dalam lapangan hukum perkawinan, waris, wasiat dan hibbah maupun dalam lapangan sengketa ekonomi syariah, disisi lain kita dituntut bekerja dalam satu system peradilan yang dijalankan diatas hukum ( Court of law ).

Tegasnya hukum materil yang akan ditegakan haruslah dijalankan dalam satu sistim hukum yang khusus diadakan untuk itu, yang umum kita kenal dengan hukum acara.

Suatu perkara, kebenaran dan keadilannya penyelesaiannya dimuka pengadilan tidak semata dilihat dari hasil akhirnya, akan tetapi dinilai sejak awal proses beracara dimulai. Apakah sejak awal pengadilan telah memberikan layanan sesuai dengan ketentuan hukum acara atau tidak. Karena apabila proses beracaranya benar dan baik barulah akan menghasilkan suatu putusan yang baik, dan apabila proses beracaranya tidak dilakukan dengan benar dan baik dapat dipastikan putusan yang dijatuhkan tidak memenuhi rasa keadilan dan kebenaran. Begitu penting dan strategisnya kedudukan hukum acara dalam institusi peradilan, maka setiap orang atau personil pengadilan agama wajib untuk mengetahui dan mamahami hukum acara terlebih lagi Pengadilan Agama sebagai peradilan khusus memiliki kekhusususan beracara dibandingkan peradilan umum dan peradilan lainnya. Disampiung hukum acara, Pengadilan Agama telah memiliki hukum materil baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang tersebar diberbagai peraturan perundang undangan maupun yang telah dikompilasikan dalam kitab Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Dengan memperhatikan hubungan kedua hukum tersebut, dalam kesempatan ini kita akan membahas bersama, beberapa hal yanhg menonjol dalam lapangan hukum acara (formil) dan hukum perdata agama ( Materil) antara lain mengenai sengketa waris. Perbedaan agama (non muslim) sebagai penghalang untuk dapat mewarisi, dalam hukum kewarisan dewasa ini, hendaknya dibedakan dengan pembunuhan penganiayaan dan fitnah yang dikaui, secara universal sepanjang zaman sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga apabila pelakunya dihukum tidakd apat mewarisi pewarisnya yang dibunuh, dianiaya dan difitnah, maka tidak akan ada yang mengkritisi hukum Islam sebagai tidak adil dan tidak manusiawi. Sedangkan perbedaan agama (non-Muslim) bukanlah sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi menyangkut keyakinan akan kebenaran ajaran suatu agama yang patut dihargai dan dihormati oleh siapapun sebagaimana Islam telah mengajarkan demikian. Oleh karenanya, apabila warga negara non-Muslim dihukum tidak dapat mewarisi pewaris Muslim sekalipun dengan wasiat wajibah, sudah dapat dipastikan hukum Islam akan dikritisi sebagai tidak adil dan tidak manusiawi. Kecuali apabila hukum yang belaku bagi warga negara non-Muslim menyatakan hal yang sama bahwa warga negara yang Muslim tidak dapat mewarisi pewaris non-Muslim.

Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di satu sisi nas| al-Quran tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris untuk non muslim, sedangkan hadits tidak memberikan sedikitpun bagian harta bagi ahli waris non muslim namun di sisi lain tuntutan keadaan dan kondisi menghendaki hal yang sebaliknya. Dialektika antara hukum dan tuntutan perkembangan zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum kewarisan Islam.

2. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas , maka kami akan menguraikan beberapa permasalahan yang berhubungan dengan pengadilan agama dalam memecahkan masalah-masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kompetensi pengadilan agama terhadap sengketa waris Islam denganr ahli waris non muslim ?

2. Bagaimana Perlakuan Ahli waris non muslim dalam sengketa waris di peradilan agama ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA/HUKUM FORMIL

1. Pengertian hukum formil atau hukum acara

pada umumnya diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang berita acara mengajukan perkara baik gugatan maupun permohonan, memeriksa perkara dan memberikan putusan dengan tujuan untuk mempertahankan hukum materil. Dengan kalimat sederhana sering diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan/.tuntutan dan tata cara mempertahankannya dimuka pengadilan. Atau dengan bahasa lebih sederhana lagi yaitu hukum yang mengatur tentang tata cara menegakkan hukum materil dimuka pengadilan.

Dasar dan sumber hukum acara Pradilan Agama

Undang undang no.7 tahun 1989 dan Undang-undang no. 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diamandemen dengan undang undang no.3 tahun 2006 tentang peradilan agama Bab IV Tentang hukum acara, pada bagian pertama pasal 54, ditegaskan bahwaq hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum , kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang undang ini. ( misalnya tatacara mengajukan gugatan cirai di tempat kediaman penggugat, permohonan talak ditempat kediaman termohon)

Hukum Acara yang berlaku pada lingkungan peradilan umum, meliputi Reglemen Daerah Seberang (RBG) Stb. No.227 tahun 1927 untuk daerah diluar Jawa dan Madura. Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB/HIR ) Stb.No.1941, Untuk wilayah jawa dan Madura.. Samai sekarang perbedaan kedua aturan ini masih dipertahankan dan belum barhasil disatukan. Selain itu ada Undangundang no. 20 Th.1947 Tentang tata cara Peradilan Ulangan .

Beberapa azas hukum acara Peradilan Agama, antara lain :

a. Pemeriksaan perkara dimulai setelah diajukan gugatan/permohonan.

b. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas.

c. Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

d. Putusan dan Penetapan dimulai dengan kalimat “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”

e. Pengadilan mengadili menurut hukum dan dengan tidak membeda-bedakan orang.

f. Pengadilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan .

g. Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum kecuali apabila Undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemerikasaan secara keseluruhan atau sebagian dilakukan dengan sidang tertutup.

h. Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.

i. Penetapan dan Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Selain dari beberapa azas tersebut masih ada ketentuan lain yang mengikat para hakim dan panitera, anatara lain Tiap tiap Penetapan dan Putusan Pengadilan Agama ditandatangani oleh Ketua dan Hakim hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada waktu penetapan dan Putusan itu diucapkan. Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan Panitera yang bersidang. Setiap Penetapan dan Putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara , kecuali apabila Undang undang menentukan lain. Semua penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat alasan alasan dan dasar dasarnya juga harus memuat pasal pasal tertentu dari peratuan peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

2. KOMPETENSI ABSOLUT dan RELATIF

· Kompetensi Absolut Pengadilan Agama yaitu :

Kompetensi atau wewenang Pengadilan Agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Tegasnya kewenangan yang diperoleh berdasarkan lingkungan (atribusi). Sengketa dalam lapangan ekonomi syariah dari penjelasan pasal 49 UU Peradilan Agama dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi dibidang perbankan syariah, melainkan juga dibidang ekonomi syariah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentua pasal ini.

1. Yang dimaksud dengan W A R I S ialah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, seperti penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing masing ahli waris.

2. Yang dimaksud dengan W A S I A T ialah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga / badan hukum , yang berlaku setelah yang memberi itu nebingal dunia.

3. Yang dimaksud dengan H I B A H adalah pemberian suatu benda se cara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.

· Mangenai KOMPETENSI RELATIF , adalah

kewenangan pengadilan agama berdasarkan distribusi wilayah bkewenangan mengadili sesama pengadilan, misalnya Kompetensi Pengadilan Agama Dsenpasar, Kompetensi

Pengadilan Agama Badung dan lainnya’ Eksepsi atas kewenangan mengadili dalam kompetensi relatif hanya dapat diajukan pada saat jawaban disampaikan, sedang eksepsi stas kompetensi absolut dapat diajukan setiap tahapan pemerikasasn perkara.

3. Hukum Acara Peradilan Agama bersifat “Lex Specialis”

Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”. Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogot Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku pada

pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Tahap-tahap pemeriksaan dalam persidangan

Tingkat Pertama

a. Gugatan/Permohonan

b. Jawaban/Rekonpensi

c. Replik/jawaban Rekonpensi

d. Duplik/Replik Rekonpensi

e. Duplik Rekonpensi

f. Pembuktian

g. Kesimpulan

h. Putusan

i. Eksekusi (jika tidak ada upaya hokum banding dari yang dikalahkan).

Tingkat kedua (Banding)

1. Memori Banding yang dibuat Pembanding/kuasanya

2. Kontra Memori Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya

3. Eksekusi (jika tidak ada upaya hokum Kasasi dari yang dikalahkan)

Tingkat Kasasi

1. Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya

2. Kontra Memori Kasasi yang dibuat Termohon Kasasi/kuasanya.

3. Eksekusi dan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi.

B. HUKUM WARIS MENURUT KHI

1. Kompilasi Hukum Islam

Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia selanjutnya lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh, serta bahan-bahan lainnya yang merupakan hukum materil PA dalam meyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf. Kehadiran KHI ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran putusan PA terhadap masalahmasalah yang menjadi kewenangannya, disebabkan dasar acuan putusannya adalah pendapat para ulama yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang sering berbeda tentang hal yang sama antara yang satu dengan lainnya. Sehingga sering terjadi putusan yang berbeda antara satu PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama.[1]

Tema utama penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum Islam di Indonesia, yang dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan

kepastian hukum. Sebab untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat. Dengan

lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan PA diarahkam kepada persepsi penegakan hukum yang sama.[2]

KHI terdiri atas tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan. Pasalpasal hukum perkawinan dalam Buku I yang terdiri dari 170 pasal, telah memuat materi hukum yang rinci. Di samping itu selain Buku I KHI juga telah ada UU lain yang mengatur tentang perkawinan, seperti UU no. 1 th. 1974 dan PP no.9 tahun 1975. Berbeda dengan hukum kewarisan dalam Buku II yang begitu singkat jika dibandingkan dengan hukum perkawinan. Hukum kewarisan hanya terdiri dari 23 pasal (pasal 171-193). Hukum perwakafan dalam Buku III juga singkat, yaitu 15 pasal, namun hukum perwakafan namun telah ada perundang-undangan lain yang mengaturnya, yaitu PP no. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.

2. Pengertian Hukum Kewarisan

Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada pasal 171 ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."

Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris

b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris

e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.

Dari definisi ini juga tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu; pewaris, ahli waris dan harta warisan atau tirkah.

Pewaris

Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b): "Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan."

Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdiri.3 Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.

Ahli Waris

Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal 171 ayat ( c ): "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris" Selanjutnya ahli waris yang terdapat pada KHI seperti tersebut di atas pada dasarnya sama dengan ahli waris dalam kitab-kitab fiqh Islam, dengan pengecualian laki-laki dan perempuan yang memerdekakan budak, karena di Indonesia tidak ada perbudakan, namun dimungkinkan ada penambahan ahli waris pengganti seperti cucu laki-laki maupun perempuan dari anak perempuan bersamaan anak laki-laki, di mana anak perempuan tersebut telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.

Dari pasal-pasal 174. 181, 182 dan 185, dapat dilihat bahwa ahli waris tersebut terdiri atas :

1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami.

2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri

3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris penggant adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan.

Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulakan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris adalah; mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan; beragama Islam. Tentang beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam pasal 172 KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."

4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Adapun tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya pewaris, seperti disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak dalam ketentuan ini, dan menurut penulis hal ini perlu ditegaskan.

Adanya Harta Peninggalan (Tirkah).

Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ulama ada beberapa pendapat. Ada yang menyamakan dengan pengertian maurus (harta waris) ada juga yang memisahknnya, yaitu bahwa tirkah mempunyai arti yang lebih luas dari maurus.6 KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah, yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya." Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat (e) ;"Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."

Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah berupa:

1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang, termasuk piutang yang akan ditagih.

2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat seseorang meninggal dunia

3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing.

4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau isteri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus kembali

pada asalnya, yaitu suku tersebut.7 yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara induvidual kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan suami atau isteri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang si mati dan wasiat.

Halangan Menjadi Ahli Waris

Salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah tidak adanya halangan pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris dalam KHI disebutkan pada pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut:

"Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".

Kelompok Ahli Waris

Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal 174, selengkapnya pasal tersebut berbunyi:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Sehubungan dengan uraian di atas, dalam KHI perlu dipertegas tentang pengelompokan ahli waris dan perioritas penerimaannya. Hal ini sangat penting untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran dalam rangka kesatuan persepsi menuju kejelasan dan kesatuan serta kepastian hukum. Sebagai acuan pengelompokan tersebut, bias dipakai pengelompokan ahli waris menurut pendapat para ulama dalam fiqh mawaris, terutama dari fiqh sunni yang telah lama dianut oleh umat Islam di Indonesia termasuk prioritas penerimaannya.

Ahli Waris Pengganti

Tentang ahli waris pengganti ini dalam KHI diatur dalam pasal 185 KHI. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:

a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.

b. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.

Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, bahwa pengganti ahli waris sebenarnya bukan ahli waris, tetapi mendapat waris karena keadaan atau pertimbangan tertentu. Kalau mereka itu sejak dari semula dianggap sebagai ahli waris yang kini menjadi pengganti ahli waris, tentu tidak diperlukan pembahasan khusus seperti yang disebutkan dalam ayat (2). Adanya ayat (2) ini sudah tepat sekali sehingga ahli waris yang sesungguhnya tidak akan terlalu dirugikan.

BAGIAN WARIS MENURUT KHI

Anak (pasal 176 KHI)

a. anak perempuan Satu orang mendapat ½

b. anak perempuan jumlahnya dua Orang atau lebih mendapat 2/3 (bersekutu)

c. Anak laki laki dan anak perempuan perbandingan 2:1

Ayah (pasal 177 KHI)

Ayah jika tdk ada anak = 1/6

Ayah jika ada anak = 1/3

Ibu (pasal 178 KHI)

Bagian Ibu jika Pewaris ada anak = 1/6

Bagian Ibu jika Pewaris ada 2 saudara atau lebih = 1/6

Bagian Ibu jika Pewaris tdk ada ank dan tidak ada 2 saudara atau lebih = 1/3

Bagian Ibu = 1/3 dari sisa janda atau duda jika bersama ayah.

DUDA (pasal 179 KHI)

a. Duda mendapat ½ kalau pewaris tidak meninggalkan anak

b. Duda mendapat ¼ kalau pewaris meningalkan anak

Janda (pasal 180 KHI)

a. Janda mendapat ¼ (bersekutu) jika pewaris tidak meninggalkan anak

b. Janda mendapat 1/8 (bersekutu) jika pewaris meninggalkan anak

Saudara (pasal 181 dan 182 KHI)

Jika orang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah:

Saudara laki-laki dan perempuan Seibu masing-masing 1/6, jika lebih dari dua, bersekutu dalam 1/3

Saudara Kandung atau seayah:

a. perempuan Satu orang mendapat ½

b. perempuan jumlahnya dua Orang atau lebih mendapat 2/3 (bersekutu)

c. laki laki dan anak perempuan perbandingan 2:1

Ahli waris pengganti (pasal 185 KHI)

ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris digantikan oleh ahli waris pengganti, yaitu anaknya

bagian ahli waris pngganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti

C. PERLAKUAN AHLI WARIS NON MUSLIM BAGI PERADILAN AGAMA

1. Ahli Waris Non Muslim dalam Putusan Mahkamah Agung RI

Sejauh ini ada dua putusan Mahkamah Agung tentang Status ahli waris non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999. Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan ini ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris, dan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris.

Dari dua putusan di atas dapat ditarik satu gambaran bahwa melalui yurisprudensinya Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menuju pemberian harta bagi ahli waris non muslim dan dari tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris bagi bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli waris muslim.

Satu hal menarik yang perlu dicermati di sini adalah bahwa dalam pertimbangan hukumnya baik dalam perkara nomor 368 K/AG/1995 tanggal 10 ,16 Juli 1998 maupun nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 keduanya didasarkan pada wasiat wajibah. Dengan mencermati kasus tersebut dapat memunculkan pertanyaan kenapa dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris melainkan hanya diberikan harta berdasarkan wasiat wajibah sementara dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 disamping mendapatkan harta berdasarkan wasiat wajibah ahli waris non muslim juga dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim.

Dengan munculnya dua putusan tersebut jelas Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Dalam konteks ini perlu disinggung bahwa Hakim memiliki kewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap telah usang dan ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu menciptakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam Ilmu Hukum cara ini disebut dengan istilah Contra legem. Dalam menggunakan Contra legem ini Hakim harus mencukupkan pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek hukum. Putusan hukum oleh hakim yang kemudian dijadikan sebagai dasar bagi putusan yang memiliki kasus serupa disebut sebagai hukum yurisprudensi tujuannya adalah untuk menghindari adanya disparitas putusan hakim dalam perkara yang sama.

Dalam dua kasus di atas yang dijadikan dasar pembaharuan Hukum Kewarisan Islam adalah wasiat wajibah yang menurut sebagian pemikir Islam ahli waris non muslim dapat mendapat bagian harta warisan melalui jalan wasiat wajibah. Pendapat tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm, At-Tabari dan Muhammad Rasyid Rida. Namun tidak ada pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris bagi pewaris muslim. Di sinilah letak kelemahan dari putusan tersebut yang tidak menjelaskan tentang pertimbangan hukum bagi status ahli waris non Muslim.

Dengan diberikannya hak wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim sebagai alternatif agar memperoleh haknya, sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung, sesungguhnya telah memberikan gambaran positif bahwa hukum Islam tidaklah eksklusif dan diskriminatif yang seolah-olah telah menempatkan warga negara non-Muslim sebagai kelas dua di depan hukum. Apabila ahli waris non-Muslim tetap dipertahankan sebagai orang yang tidak dapat mewarisi dengan jalan apapun, sebagaimana hukum asalnya, maka hukum Islam akan dipandang sebagai suatu ancaman (menghilangkan hak waris) apabila ditransformasikan ke dalam hukum nasional (hukum positif), hal ini sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum Islam selanjutnya.

2. Kewenangan Pengadilan Agama dalam sengketa ahli waris non muslim dalam waris Islam

kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili sengketa waris di antara yang berbeda agama (Muslim dan non-Muslim) masih tetap dipertanyakan, khususnya oleh warga negara non-Muslim, karena berdasarkan ketentuan pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara perdata tertentu di antara orang-orang yang beragama Islam dan dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Pertanyaan tersebut mengemukakan tidak terlepas dari pemahaman bahwa hukum Islam tidak memberi hak mewarisi kepada ahli waris non-Muslim. Oleh karena itu, dengan adanya hak wasiat wajibah bagi ahli waris non-Muslim pertanyaan tersebut barangkali sudah tidak muncul lagi karena hukum Islam telah mengakomodir hak dan kepentingan warga negara non-Muslim. Lebih dari pada itu, realitas yang terjadi selama ini warga negara non muslim kerap kali membawa perkara kewarisan Islam ke Pengadilan Negeri (Umum), sehingga menghambat penyelesaian perkara, atas sengketa waris yang diajukan warga negara Muslim ke Pengadilan Agama diharapkan tidak akan terjadi lagi.

E. ANALISA KASUS

1. Sengketa waris dengan ahli waris non muslim dengan Penyelesaian Hukum waris Islam

Dalam keluarga alm H. Sanusi – Hj. Suyatmi. Pasangan suami istri ini memiliki enam orang anak yakni Djoko Sampurno, Untung Legianto, Siti Aisjah, Sri Widyastuti, Bambang Setyabudhi dan Esti Nuri Purwanti. Sebelum H. Sanusi- Hj. Suyatmi meninggal dunia, salah seorang anaknya, bernama Sri Widyastuti, pindah agama. Meskipun berkali-kali diminta untuk kembali, Sri tetap pada pilihannya memeluk agama Kristen. Persoalan waris muncul ketika orang tua mereka meninggal dunia. Almarhum memang meninggalkan harta yang tersebar di Jakarta, Bogor dan Purworejo.
Anak kelima, Bambang Setyabudhi mengajukan gugatan dan meminta Pengadilan Agama Jakarta menetapkan ahli waris yang sah. Kebetulan seluruh anak-–minus Sri Widyastuti—sepakat harta waris orang tuanya dibagi berdasarkan hukum Islam. Di mata penggugat, Sri tidak layak lagi mendapatkan hak waris karena telah berpindah agama. Sebaliknya, Sri menolak pembagian secara Islam. Ia juga menganggap Pengadilan Agama (PA) bukan forum yang tepat untuk mengadili perkara waris yang dipersengketakan oleh orang yang berbeda agama. Menurut Sri, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, PA adalah forum peradilan bagi mereka yang beragama Islam; bukan bagi orang yang beragama Kristen seperti dirinya.

Rupanya PA Jakarta berpendapat lain. Mengacu pada Pasal 1 dan 2 jo Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, personal keislaman ditentukan oleh pewaris. Dalam kasus ini, karena pewaris H. Sanusi-Hj Suyatmi beragama Islam, maka yang diterapkan dalam pembagian waris adalah hukum Islam. Konsekuensinya, Sri Widyastuti terhijab untuk mendapatkan harta waris dari orang tuanya.

Argumen itu dimentahkan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jakarta dan Mahkamah Agung. Meskipun Sri Widyastuti tidak termasuk golongan ahli waris, ia tetap berhak atas harta warisan itu. Menariknya, majelis kasasi terdiri dari H. Taufiq, HM. Muhaimin dan H. Chabib Sjarbini, yang notabene adalah hakim-hakim agung kuat pemahaman keislamannya. Menurut majelis kasasi, Sri Widyastuti berhak atas harta peninggalan kedua orang tuanya, baik harta peninggalan H. Sanusi maupun Hj. Suyatmi. Sri Widyatuti mendapatkan harta waris berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian anak perempuan ahli waris H. Sanusi dan Hj Suyatmi.

Pengadilan Tinggi Agama sebenarnya mengakui adanya hak Sri berdasarkan wasiat wajibah, tetapi jumlahnya hanya tiga perempat dari bagian seorang anak perempuan ahli waris. Mahkamah Agung mengubah jumlah harta yang bisa diperoleh Sri, dari tiga perempat menjadi sama dengan bagian yang diperoleh seorang ahli waris perempuan. Pertimbangan dan putusan MA yang mengakui hak anak yang berbeda agama atas waris terdapat dalam register perkara No. 368K/AG/1995. Putusan atas perkara ini baru dijatuhkan tiga tahun kemudian.

2. Analisa Yuridis terhadap putusan Makhamah Agung

Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penerapan hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara aktual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan tetap mempertimbangan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya.8 Melalui putusan-putusannya seorang hakim tidak hannya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang (hakim sebagai corong undang-undang) tetapi sesugguhnya ia juga melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan kepadanya dan belum diatur dalam undang-undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan hukum baru/jadge made law)[3]

Hakim di lingkungan peradilan agama di Indonesia sebagai salah satu penegak hukum Islam ternyata juga telah melaksanakan fungsi menetapkan putusan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya dengan terlebih dahulu mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum pada putusannya tersebut.10 Dan melalui putusan tersebut tidak dapat disangkal bahwa ia telah turut berperan dalam pemikiran hukum Islam terlebih lagi ketika putusannya tersebut mengandung pembaharuan terhadap pemikiran hukum Islam.[4]

Buku II tentang Hukum Kewarisan terdiri dari Bab I : Ketentuan Umum (pasal 171); Bab II: Ahli Waris (pasal 172-175); Bab III: Besarnya Bahagian (pasal 176-191); Bab IV: Aul dan Rad (pasal 192-193); Bab V: Wasiat (pasal 194-209); dan Bab VI: Hibah (pasal 210-214). Dalam pasal 171 huruf c dijelaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris. Pasal ini menjelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris sehingga berimplikasi bahwa jika tidak beragama Islam maka tidak dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Adapun untuk mengidentifikasikan seorang ahli waris beragama Islam pasal 172 KHI menjelaskan bahwa ahli waris dipandang beragama Islam diketahui dari kartu identitasnya atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan untuk bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, agamanya menurut ayahnya atau lingkungannya.

Adapun identitas pewaris dijelaskan pada pasal 171 huruf b yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dalam Hukum Kewarisan Islam dalam perundang-undangan di Indonesia seorang ahli waris yang bisa mewarisi pewaris keduanya haruslah beragama Islam. Implikasinya adalah ahli waris non muslim bukan ahli waris dari pewaris muslim.

Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan ini ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris, dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris. Dengan mencermati kasus tersebut dapat memunculkan pertanyaan kenapa dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris melainkan hanya diberikan harta berdasarkan wasiat wajibah

Dari putusan di atas dapat ditarik satu gambaran bahwa melalui Yurisprudensinya Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menuju pemberian harta bagi ahli waris non muslim dan dari tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris bagi bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli waris muslim.

BAB III

PENUTUPAN

KESIMPULAN

· kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili sengketa waris di antara yang berbeda agama (Muslim dan non-Muslim) masih tetap dipertanyakan, khususnya oleh warga negara non-Muslim, karena berdasarkan ketentuan pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara perdata tertentu di antara orang-orang yang beragama Islam dan dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Pertanyaan tersebut mengemukakan tidak terlepas dari pemahaman bahwa hukum Islam tidak memberi hak mewarisi kepada ahli waris non-Muslim.

· Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan ini ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris, dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris. Dengan mencermati kasus tersebut dapat memunculkan pertanyaan kenapa dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris melainkan hanya diberikan harta berdasarkan wasiat wajibah

· Yurisprudensinya Mahkamah Agung nomor 368 K/AG/1995 telah melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menuju pemberian harta bagi ahli waris non muslim dan dari tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris bagi bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli waris muslim.

SARAN

  • Adanya perbedaan antara putusan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang bagian harta bagi ahli waris non muslim dan status ahli waris non muslim dengan fiqh di atas, jelas menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana dan mengapa putusan tersebut lahir, bukankah putusan tersebut tidak sejalan dengan fiqh dan bahkan tidak sejalan dengan kompilasi hukum Islam yang juga tidak memberikan bagian harta sedikitpun bagi ahli waris non muslim dan tidak memberikan status ahli waris dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim, maka perlu adanya suatu kepastian hukum mengenai pembagian waris yang jelas walaupun melalui wasiat wajibah.


[1] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992), hlm.21

[2] Yahya Harahap,"Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam" Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 (Jakarta: AlHikmah, 1992), hlm. 25

[3] Bagir Manan, “Hakim sebagai Pembaharu Hukum” dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 254 Januari 2007., Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2007, hlm. 9-13

[4] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 311-327

Link Khusus